PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Halo para reader yang baik dan budiman 😆 aku pengen share sedikit sebuah artikel tugas kuliah ku. Mohon
bimbingannya jika terdapat typo kata atau kata-kata yang tidak berkenan 😊
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Oleh:
Rinda Matilda
PENGEMBANGAN KURIKULUM PLS
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
Abstrak
Kurikulum mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
generasi yang berguna untuk nusa dan bangsa yang memiliki sifat tanggung jawab,
kreatif, ahli, dan menjadi pribadi yang inovativ. Kurikulum dapat di ibaratkan
jantung pendidikan. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan sebuah bangsa.
Bangsa akan menjadi maju apabila memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
atau bermutu tinggi. Dalam hal ini kurikulum memainkan peran yang sangat dalam
mewujudkan generasi yang handal, kreatif, inovatif,dan menjadi pribadi pribadi
yang bertanggung jawab. Namun demikian perkembangan kurikulum sering kali menemukan
banyak masalah yang memerlukan pertimbangan dan pemecahan tersendiri. Demi
mewujudkan kualitas pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman,perlu
adanya upayan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum yang terakhir diterapakan
adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan( KTSP) sebagai pengganti Kurikulu
Berbasis Kompetensi(KBK).dan tahun ajaran 2013 giliran KTSP diperbaharui dengan
kurikulum 2013. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan kualitas
pendidikan nasiaonal. Pendidikan merupakan media yang tepat untuk mengenalkan
multikultural. Inti dari keberhasilan multikultural adalah keinginan untuk
menerima budaya kelompok lain, etnik, gender, bahasa dan keberanekaan agama
sebagai suatu bentuk keseimbangan dan membentuk satu kesatuan. Pendidikan
multikultural harus didekati dengan strategi pembelajaran dan kurikulum yang
mengarahkan kepada proses pembelajarannya. Hal penting yang dibutuhkan adalah
mendesain beberapa isi materi kurikulum pendidikan bagi para siswa agar dapat
menerima orang lain secara sama dan menghormati agama mereka, budaya, dan
perbedaan etnik. Oleh karenanya model kurikulum dengan beraneka ragam tema
adalah suatu model kurikulum yang sangat dianjurkan.
Kata kunci : Kurikulum, Pendidikan Multikultural
Abstract
The curriculum has a very important role in realizing a useful
generation for nusa and nation that has the nature of responsibility, creative,
expert, and become an innovative person. The curriculum can be at the heart of
education. Education is the spearhead of the progress of a nation. The nation
will be advanced if it has qualified human resources or high mewujudkaquality.
In this case the curriculum plays a very important role in realizing a
generation that is reliable, creative, innovative, and personally responsible
person. However, curriculum development often finds many problems that require
consideration and solving. In order to realize the quality of education
relevant to the development of the times, it is necessary to improve the
curriculum. The last curriculum applied is the Education Unit Level Curriculum
(KTSP) as a substitute for Competency-Based Curriculum (KBK). And the school
year 2013 turn KTSP updated with the curriculum 2013. This is in line with Law
No. 20 of 2003 on Sisdiknas article 35 and 36 emphasizing the need to improve
the quality of nasiaonal education. Education is the right medium to introduce
multicultural. The essence of multicultural success is the desire to accept
another group culture, ethnicity, gender, language and religious diversity as a
form of balance and form a unity. Multicultural education must be approached
with learning strategies and curriculum that lead to the learning process. The
important thing is to design some educational curriculum material content for
students to receive others equally and respect their religion, culture, and
ethnic differences. Therefore the curriculum model with a wide range of themes
is a highly recommended curriculum model.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Oleh sebab itu kegiatan pendidikan merupakan perwujudan dari
cita-cita bangsa. Dengan demikian kegiatan pendidikan nasional perlu
diorganisasikan dan dikelola sedemikian rupa supaya pendidikan nasional sebagai
suatu organisasi dapat menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional.
Fenomena sosial budaya seperti pendidikan multikultural penting untuk
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Menurut Hasan (2000), masyarakat
dan bangsa Indonesia memiliki tingkat keragaman yang tinggi, mulai dari dimensi
sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut
berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum.
Kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar serta berpengaruh dalam
mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil
belajar. Keragaman itu menjadi suatu variable bebas yang memiliki kontribusi
sangat signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang ada, baik
kurikulum sebagai proses maupun kurikulum sebagai hasil. Oleh karena itu,
keragaman tersebut harus menjadi faktor yang seyogyanya diperhitungkan dan
dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, sosialisasi, dan
pelaksanaan kurikulum.
Kurikulum di Indonesia sudah mengalami perkembangan sejak periode
sebelum tahun 1945 hingga kurikulum tahun 2006 yang berlaku sampai akhir tahun
2012 lalu. Selama proses pergantian Kurikulum tidak ada tujuan lain selain
untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta rancangan pembelajaran
yang ada di sekolah. Menurut beberapa pakar, perubahan kurikulum dari masa ke
masa, baik di Indonesia maupun di negara lain, disebabkan karena kebutuhan
masyarakat yang setiap tahunnya selalu berkembang dan tuntutan zaman yang
cenderung berubah. Perkembangan kurikulum dianggap sebagai penentu masa depan
anak bangsa. Oleh karena itu, kurikulum yang baik akan sangat diharapkan dapat
dilaksanakan di Indonesia sehingga akan menghasilkan masa depan anak bangsa
yang cerah yang berimplikasi pada kemajuan bangsa dan negara. Setiap kurikulum
yang telah berlaku di Indonesia dari periode sebelum tahun 1945 hingga
kurikulum tahun 2006, memiliki beberapa perbedaan sistem. Perbedaan sistem yang
terjadi bisa merupakan kelebihan maupun kekurangan dari kurikulum itu sendiri.
Kekurangan dan kelebihan tersebut dapat berasal dari landasan, komponen,
evaluasi, prinsip, metode, maupun model pengembangan kurikulum. Untuk
memperbaiki kekurangan yang ada, maka disusunlah kurikulum yang baru yang
diharapkan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman. Oleh
karena itu, kurikulum di Indonesia akan senantiasa berkembang maupun berubah
sesuai yang disebutkan sebelumnya. Satu persoalan serius yang dihadapi
Indonesia hingga hari ini adalah benturan dan konflik yang disebabkan oleh
faktor multikultural. Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa adanya sebuah
ikhtiar secara sistematis untuk menyelesaikannya, maka masalah ini akan terus
menjadi ancaman serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa. Pola penyelesaian
konflik secara parsial, seperti hanya lewat pendekatan keamanan, tidak akan
mampu menghentikan konflik secara tuntas. Penyelesaian secara sistematis lewat
jalur pendidikan merupakan salah satu alternatif strategis yang penting untuk
dipertimbangkan. Konstruksi pendidikan yang memiliki peran semacam ini bukanlah
pendidikan yang sentralis.
Dalam model pendidikan lama pengembangan kurikulum dilakukan
dengan keseragaman atau desentralisasi kurikulum karena adanya ketakutan dan
kekuatiran yang berlebihan, siswa tidak diberi tahu tentang budaya lain.
Implikasinya, siswa tidak mengerti dan tidak dapat memahami mengapa temannya
yang berasal dari suku dan ras lain bersikap seperti itu. Terkadang ada ketakutan
bila nilai budaya lain diajarkan, nantinya akan membuat siswa tidak menghargai
budaya sendiri. Padahal, pengenalan budaya lain justru akan membantu kita
mengeti budaya kita lebih jelas. Mereka akan memiliki cara pandang yang luas,
dapat membandingkan antara satu budaya dengan budaya lain, melakukan telaah
kritis atas masing-masing budaya, dan memiliki penghargaan terhadap eksistensi
budaya lain. Mulai dari banyak permasalahan yang muncul pendidikan
multukultural menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi. Pendidikan
dituntut untuk tidak hanya menguasai dan mampu secara professional mengajarkan
mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang kepala sekolah juga
harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan seperti demokratis, saling
menghargai, toleransi antar umat beragama kepada peserta didiknya. Pendidikan
multikultural merupakan kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui,
menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan
gender, ras, dan kelas (Dawam, 2003: 35). Melalui pendidikan multikultural
kepala sekolah dapat memberi seluruh siswa tanpa memandang status sosio
ekonomi, gender, orientasi seksual, atau latar belakang etnis, ras atau budaya
kesmpatan yang setara untuk belajar di sekolah.
KAJIAN LITERATUR
Pendidikan yang mengusung tema multikultural belum sepenuhnya
dikenal oleh khalayak luas masyarakat Indonesia. Ainnurofiq Dawam (2003:
100-101) menjelaskan pendidikan multikultural secara etimologis terdiri dari
dua kata yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan adalah proses
pengembangan sikap dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran,
pelatihan dan dengan cara mendidik. Multikultural berasal dari kata multi yang
berarti beragam dan kultur yang berarti budaya. Secara terminologis pendidikan
multikultural adalah proses pengembangan potensi manusia agar dapat menghargai
pluralitas dan heterogenitas. Sulalah (2012: 48) mendefinisikan pendidikan
multikultural adalah suatu konsep untuk memberikan peluang pendidikan yang
setara bagi semua peserta didik yang berbeda ras, etnik, kelas sosial, agama
dan kelompok budaya. Banks & Banks (2005: 3) mendefinisikan bahwa:
Multicultural education is at least three things: an idea or concept, an
educational reform movement, and a process. Multicultural education
incorporates the idea that all students regardless of their gender and social
class and their ethnic, racial, or cultural characteristics should have an
equal opportunity to learn in school. Berdasarkan pendapat Banks & Banks
maka pendidikan multikultural mencakup tiga hal yaitu gagasan atau konsep,
gerakan reformasi pendidikan, dan proses. Semua peserta didik memiliki
kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah tanpa memandang jenis kelamin dan
kelas sosial serta karakteristik etnis, ras, atau budaya. Saat pembelajaran
berlangsung, peserta didik mendapat perlakuan yang setara tanpa memandang latar
belakangnya. Konsep pendidikan multikultural ditujukan untuk membekali peserta
didik agar dapat bertoleransi dan menghargai perbedaan. Gollnick & Chinn
(2006: 6) mendefinisikan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
membahas tentang keragaman budaya dan kesetaraan di sekolah. Kesetaraan
tersebut dimaksudkan bahwa semua peserta didik diberikan kesempatan yang sama
dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan jawaban yang
tepat untuk menjawab persoalan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh keragaman.
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi (2010: 191) menambahkan bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menanamkan sikap saling menghormati, tulus
dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang terdapat dalam masyarakat. Agus
Salim (2006: 25) menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses
yang memberikan penyadaran dalam keragaman hidup bersama di bidang sosial,
ekonomi, dan budaya dengan menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, simpati,
dan solidaritas sosial dalam masyarakat multikultural. Berdasarkan definisi
pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh beberapa pendapat ahli di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
menanamkan sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keragaman ras, etnis,
budaya, agama, bahasa, sosial, ekonomi, jenis kelamin sehingga dapat menerima
dan hidup bersama dalam keragaman tersebut tanpa menimbulkan permasalahan.
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang berasal dari ras, etnis,
budaya, agama, bahasa, kelas sosial ekonomi dan jenis kelamin yang berbeda
mendapat kesempatan yang setara dan adil untuk mengenyam pendidikan di sekolah
dan dalam pembelajaran.
Kurikulum dibuat untuk memperlancar proses kegiatan belajar
mengajar di sekolah dengan tujuan memperbaiki mutu dan kualitas
pendidikan di Indonesia. Menurut Nasution (2006: 5) Kurikulum adalah suatu
rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar - mengajar dibawah
bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf
pengajarnya.Kemendikbud (2013: 80) Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk
membawa insan Indonesia agar memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif Selanjutnya Hamalik (2002: 36) Kurikulum adalah
rencana dasar komponen pendidikan yang disusun secara relevan atas dasar tujuan,
program pendidikan, sistem penyampaian, dan evaluasi oleh sekolah dan guru yang
mengajar. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum
adalah rencana instrumen pendidikan yang disusun dengan kompetensi
sikap,pengetahuan, dan keterampilan secara relevan dengan tujuan memperlancar
proses kegiatan belajar -mengajar di kelas dalam lembaga pendidikan.
PEMBAHASAN
Menurut Suyatno (2006:11), secara sederhana, multikulturalisme
dapat diartikan sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk
menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka
semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses hidridisasi yang meminta
setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing. Secara
sederhana, arti multikultural lainnya berarti keberagaman budaya. Lash &
Featherstone (2002: 2-6) mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga istilah yang
kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri
keberagaman tersebut, baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang
berbeda seperti pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan
multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak
merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya
ketidaktunggalan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari
satu (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu
berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua
konsep terdahulu, multikultural sebenarnya relatif baru. Secara konseptual
terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa,
ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan
(yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan
segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikultural
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena
itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang
harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya Tylor (1992)
dalam Gutman (1994: 18). Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak
hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun
kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common
sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam
tiga hal salah satu atau lebih dari tiga hal-, yaitu pertama perbedaan
subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat
yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas
besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku. Kedua,
perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau
kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan
yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas
(communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup
yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of
life). Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an
multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya (Gutman, 1994: 3-4). Setelah itu,
diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Tilaar (2004: 83)
menjelaskan bahwa setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah
mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks
perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan
(needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang
kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang
mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan
berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme,
gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat
(indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme,
post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan
dalam masyarakat.
Pandangan Tilaar (2004) mengenai pendidikan multikultural adalah
merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan,
proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas secara humanistik. Pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau
falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan
yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Beliau mengemukakan gagasan
mengenai pendidikan multikultural adalah sebagai tawaran konsep bagi dunia
pendidikan Indonesia ke depan, khususnya pendidikan yang bercirikan Islam yang
ada di Indonesia dalam hal ini adalah madrasah. Konsep dasar dan subtansi
pendidikan multikultural bagaimanapun juga tidak dapat terlepas dari definisi
pendidikan multikutural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras (Tilaar, 2003: 27). Sedangkan
menurut Banks (2002: 14 ) pendidikan multikultural adalah cara memandang
realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok
etnis, ras, dan budaya. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit
kesenjangan pendidikan salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin
membesar. Untuk itu, para guru yang memberikan pendidikan multibudaya harus
memiliki keyakinan bahwa; perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai, sekolah
harus menjadi teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan penghargaan untuk
perbedaan budaya dan kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus menjadi
kepentingan utama dalam kurikulum, sekolah dapat menyediakan pengetahuan,
keterampilan, dan karakter (yaitu nilai, sikap, dan komitmen) untuk membantu
siswa dari berbagai latar belakang, sekolah bersama keluarga dan komunitas
dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multibudaya.
Dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dikaitkan dengan kenyataan
kondisi mullikultural ini, sekurang-kurangnya ada tiga langkah yang patut
mendapat perhatian khusius dalam kerangka penciptaan pendidikan, yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia. Pertama, pengidentifikasian faktor sosial dan
kultural yang berkontribusi positif pada perbedaan individu peserta didik.
Kedua, perancangan dan pengorganisasian cakupan kurikulum dan langkah
pengajaran dalam menjangkau tujuan pemahaman diri dan realisasi diri secara
sosial. Ketiga, menciptaan suasana yang mampu mengembangkan keterampilan
memecahkan masalah internal dan eksternal yang diperlukan oleh peserta didik
dalam mengarungi samudera kehidupan multilkultural itu (Bentri, 2007: 8).
Selanjutnya, usaha pengembangan dan implementasi kurikulurn dalam
mengakomodasi kondisi multikultural hendaknya mengidentifikasi faktor sosial
dan kultural yang kemungkinan bisa menjadikan perbedaan individual peserta
didik sebagai faktor yang konstruktif serta mengidentifikasi nilai-nilai apa
yang sepatutnya diajarkan secara eksplisit maupun implisit. Selain itu kerangka
dan liputan kurikulum harus mampu memperlihatkan keakomodatifannya terhadap
perbedaan kultural individu peseita didik. Selanjutnya sekolah sebagai ajang
implementasi kurikulum harus bisa menawarkan berbagai kegiatan bisa mengembangkan
peserta didik dalam pergelutannya pada suasana multi kultural di lingkungannya.
Peserta didik dengan latar budaya yang beranekaragam itu diharapkan mampu
memperkaya wawasan kulturalnya sehingga mereka akan mampu bergerak secara
leluasa dan tanpa kerikuhan dari satu suasana budaya ke suasana budaya lain.
Dengan sendirinya kemampuan bergerak leluasa secara multikultural ini akan
memperbaiki kondisi sosio-ekonomis dan partisipasi politis dari peserta didik
dimasa mendatang. Pemahaman multikultural di sini tidak dalam artian perusakan
budaya etnik tetapi justru merupakan ekspansi kualitatif dari budaya etnik itu.
Memperhatikan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, maka kurikulum
pendidikan multikultural seharusnya berisi tentang materi-materi yang dapat
menghadirkan lebih dari satu perspektif tentang suatu fenomena kultural. Bila
pada tahap kontribusi, kurikulum memfokuskan pada kebudayaan minoritas
tertentu, maka pada tahap penambahan, kurikulum memperkenalkan konsep dan
tema-tema baru, misalnya tema-tema yang terkait dengan multikulturalisme,
dengan tanpa mengubah struktur kurikulum yang esensial.
Selanjutnya, bila pada tahap perubahan, kurikulum memfasilitasi
para siswa untuk melihat berbagai isu dan peristiwa dari perspektif budaya
minoritas, maka pada tahap aksi sosial, kurikulum mengajak para siswa untuk
memecahkan problem sosial yang disebabkan oleh persepsi budaya dalam satu
dimensi. Kurikulum berbasis multikultural juga perlu memasukan materi dan bahan
ajar yang berorientasi pada penghargaan kepada orang lain dan kelompok lain.
Demi terwujudnya tujuan kurikulum tersebut, ada empat hal yang
harus diperhatikan oleh guru, yaitu: (1) posisi anak didik sebagai subyek dalam
belajar; (2) cara belajar anak didik yang ditentukan oleh latar belakang
budayanya; (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi anak didik
adalah entry behavior kultur anak didik; (4) lingkungan budaya anak didik
adalah sumber belajar (Hasan, 2000). Indonesia dalah Negara yang kaya dengan
budaya, seperti dinyatakan dalam ungkapan Bhineka Tunggal Ika. Apabila
kebudayaan dijadikan salah satu landasan yang kuat dalam pengembangan
kurikulum, maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula
memperhatikan keragaman kebudayaan yang ada. Artinya, pendekatan multikulturalis
dalam pengembangan kurikulum di Indonesia adalah suatu keharusan yang tak dapat
diabaikan lagi. Hasan (2000) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum masa
depan berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan
langkah-langkah berikut: Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam
seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat pendidikan
dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah
dapat diubah ke arah filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme,
progresivisme, dan rekonstruksi sosial, yang lebih menekankan pendidikan
sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa dan dunia. Teori kurikulum
tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari yang mengartikan
konten sebagai aspek substantive yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi
kepada pengertian yang mencakup pula nialai, moral, prosedur, proses, dan
keterampilan yang harus dimiliki anak didik. Teori yang digunakan dalam
kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi dan
politik tidak lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang
bersifat individualistik dan menempatkan anak didik dalam suatu kondisi value
free, tetapi harus pula didasrkan pada teori belajar yang menempatkan anak
didik sebagai mahluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat,
bangsa dan dunia.
Proses belajar yang dikembangkan untuk anak didik juga harus
berdasarkan proses yang dimiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan
kenyataan Artinya, proses belajar yang mengandalkan anak didik belajar secara
individualistis dan bersaing secara kompetitiv-individualistis harus
ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara
kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian, perbedaan antar
individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan anak didik
terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas,
ekonomi, dan aspirasi politik. Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi
keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan
tujuan, dan konten yang Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam, sesuai
dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan, dengan menerapkan
Penilaian Berbasis Kelas (PKB) dengan berbagi ragamnya seperti potofolio,
catatan, observasi, wawancara, performance test, proyek, dan produk.
SIMPULAN
Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama.
Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu
sesungguhnya merefleksikan kekayaan khasanah budaya. Namun juga tidak dapat dipungkiri
dan tidak dapat dihindari bahwa keberagaman multibudaya yang terdapat di
Indonesia ini pun akan memunculkan beragam permasalahan khususnya pendidikan
apabila tidak mampu dikelola dengan baik. Maka dari itu perlu adanya pemahaman
dan kajian lebih mendalam tentang kurikulum multikultural. Salah satu upaya
untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi yang akan datang adalah dengan
penerapan pendidikan multicultural. Hal ini dikarenakan pendidikan
multicultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat
plural. Dengan pendidikan multicultural, kita tidak sekedar merekatkan kembali
nilai-nilai persatuan, kesatuan dan berbangsa di era global seperti saat ini,
tetapi juga mencoba untuk mendefinisikan kembali rasa kebangsaan itu sendiri
dalam menghadapi benturan berbagai konflik sosial budaya, ekonomi dan politik
dalam era global. Dengan kata lain, diterapkannya pendidikan multikultural ini,
diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan yang
sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan cultural seperti
perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas
social-ekonomi dapat diminimalkan.
Agar tujuan pendidikan multicultural ini dapat dicapai, maka
diperlukan adanya peran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi
pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam
penerapan kurikulum dengan berbasis multikultural. Guru dan institusi
pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multikultural dalam
perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat
diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga
diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik
akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar
selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta
didik diharapkan menjadi generasi multikultural di masa yang akan datang untuk
menghadapi kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan
kedisiplinan, kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran
dalam berperilaku sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan
dan kemanusiaan. Praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat
dilaksanakan secara fleksibel, tidak harus dalam bentuk mata pelajaran yang
terpisah atau monolitik. Pelaksanaan pendidikan multikultural didasarkan atas
lima dimensi: (1) integrasi konten, (2) proses penyusunan pengetahuan, (3)
mengurangi prasangka, (4) pedagogi kesetaraan, dan (5) budaya sekolah dan
struktur sekolah yang memberdayakan. Sedangkan pengembangan kurikulum masa
depan berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan beberapa
langkah, yaitu: (1) mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam
seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan; (2) teori kurikulum
tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari yang mengartikan
konten sebagai aspek substantive; (3) teori yang digunakan dalam kurikulum masa
depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi dan politik; (4)
proses belajar yang dikembangkan untuk anak didik juga harus berdasarkan proses
yang dimiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial; dan (5)
evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan, dan konten yang dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bentri, Alwen. 2007. Pendidikan Multikultural: Dalam Persfektif
Inovasi Kurikulum di Indonesia. Padang: Universitas Negeri Padang
Dawam, Ainurrafiq. 2003. Emoh Sekolah Menolak Komersialisasi
Pendidikan Dan Kanibalisme Intelektual Manuju Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Inspeal Press
Gutman, Amy. 2002. Multiculturalism, Examining the Politics of
Recognation. Princenton: Princenton University Press
Hasan, Hamid. 2000 Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan
Kurikulum Nasional. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Januari-November
2000.
Hatimah, Ihat dkk. 2007. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan.
Jakarta: Universitas Terbuka
Tidak ada komentar: